BAHAN KULIAH HUKUM TATA USAHA NEGARA LANJUT
Dilihat dari
pasal 116 Undang-Undang No.5 Tahun 1986
1. Model
eksekusi keputusan pengadilan TUN menurut pasal 116
Disini
ada 2 model eksesusi yaitu sebagai berikut :
a. Model
Otomatis : Dalam putusan pengadilan TUN
dimana pihak yang dikalahkan (tergugat) harus memenuhi kewajibannya sesuai
keputusan hakim PTUN berasal dari pasal 97 ayat (9) huruf a jo pasal 116 ayat
(2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 yaitu dimana pihak yang dikalahkan harus
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang diperkarakan, bila tidak dihiraukan
oleh pihak yang dikalahkan dalam waktu tenggang 4 bulan, maka keputusan yang
diperkarakakan tersebut tidak berlaku lagi secara otomatis.
b. Model
Hirarkis : dilihat dari pasal 3 jo.
pasal 97 ayat (9) huruf b dan c jo. Pasal 116 ayat (3) bila tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya maka pertama kali yang akan dilakukan ialah penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar memerintahkan tergugat
melaksanakan kewajiban. Bila tidak dilakukan oleh terguguat, maka Ketua
Pengadilan mengajukan kepada atasan tergugat menurut jenjang jabatannya untuk
memberitahu tergugat paling lama 2 bulan, berdasar pasal 116 ayat (4) dan ayat
(5). Bila tidak ada tanggapan dari atasan instansi tersebut, maka Ketua
Pengadilan mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
yang paling tinggi. Sehingga dari penjelasan ini memakai model hirarkis yaitu
peringatan kepada tergugat, lalu peringatan berjenjang ke atasan jabatan
instansi yang terkait dengan tergugat hingga yang paling tertinggi yaitu
Presiden.
2. Mengapa
model eksekusi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam pasal 116
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 digunakan?
Karena
setelah Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikeluarkan dalam hal
pencabuatan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan sebagaimana pasal 97
ayat (9) huruf a, maka kewajiban tergugat sudah melekat sehingga harus
melakukan kewajiban yang telah diputus oleh pengadilan, bila tidak diindahkan
dalam sekian jangka waktu tertentu maka otomatis Keputusan Tata Usaha Negara
yang di perkarakakan tersebut tidak berlaku lagi. Hal ini berbeda bila
keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara memutus kepada tergugat dalam hal
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau penerbitan Keputusan Tata Usaha
Negara dalam hal gugatan berdasarkan pasal 3 sebagaimana dalam Pasal 97 ayat
(9) huruf b dan c maka penerapan model eksekusinya berbeda lagi yaitu model
hirarkis karena bila tergugat tidak melaksanakan kewajiban dalam putusan
sebagaimana dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c maka dengan mengandalkan
peringatan paksaan (karena ada jangka waktu) kepada tingkatan jabatan instansi yang
bersangkutan sampai pengadilan Tata Usaha Negara memberi peringatan kepada
Presiden
Kelemahan Pasal 116 UU No.5 tahun 1986
Sebagaimana
diketahui bahwa Pasal 116 Ayat (4) UU PTUN menetapkan bahwa:
“Dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif.”
Membaca
pengaturan tersebut di atas, setidaknya kedua instrumen upaya paksa itu masih
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan karena hingga saat ini aturan
pelaksanaan maupun petunjuk teknis bagaimana kedua instrumen upaya paksa
tersebut dilaksanakan belum diterbitkan baik oleh pemerintah maupun oleh
Mahkamah Agung sebagai dua pihak yang berwenang membentuk aturan yang dimaksud.
Akibatnya, dalam
hal uang paksa (atau disebut juga dwangsom) bagaimana seandainya
pejabat tersebut hanya melaksanakan perintah negara yang pada akhirnya justru
menimbulkan kerugian terhadap seseorang atau badan hukum perdata, apakah memang
seharusnya ia membayardwangsom tersebut? Lantas apakah ia harus
menggunakan dananya sendiri atau dana negara guna membayar dwangsom tersebut?
Kemudian siapa yang berhak untuk memungut dwangsomtersebut? Selanjutnya
bagaimana pula jika badan/pejabat TUN yang dikenakan sanksidwangsom secara
tiba-tiba dipindahkan ke luar yurisdiksi PTUN atau saat putusan PTUN telah
berkekuatan hukum tetap, badan/Pejabat TUN tidak lagi berada pada jurisdiksi
PTUN yang bersangkutan?
Berkenaan dengan
sanksi administratif, jika Badan/Pejabat TUN adalah seorang pegawai negeri
sipil tentunya sanksi administratif yang dapat diterapkan baginya adalah
Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai negeri.
Menurut Pasal 6 PP No. 30 Tahun 1980 terdapat 3 (tiga) macam sanksi
administratif, yaitu: hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan
dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan
hormat. Lantas sanksi yang mana seharusnya diterima oleh Badan/Pejabat TUN yang
tidak menataati putusan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap?
Permasalahan
lebih lanjut adalah bagaimana jika Badan/Pejabat TUN yang dimaksud bukan
pegawai negeri sipil? Sanksi administratif bagaimanakah yang mungkin diterapkan
kepadanya?
Kesemua
pertanyaan di atas sangat realistis terjadi di lapangan, permasalahannya
seperti dikemukakan sebelumnya bahwa UU No. 9 Tahun 2004, yang diharapkan
dapat mengatasi setidaknya mereduksi kelemahan fundamental UU No. 5 Tahun 1986
terutama dalam hal pelaksanaan putusan PTUN, baik pada batang tubuh maupun pada
bagian penjelasan tidak memberikan petunjuk lebih jauh. Begitu juga dengan hal
perubahan kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 yang diundangkan dengan UU No.51 Tahun
2009,[28] ternyata belum mampu dijadikan
pedoman untuk petunjuk pelaksana putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum
tetap. Kondisi ini tentu saja akan menghambat pembangunan hukum Indonesia,
khususnya Hukum Administrasi Negara.
Bertitik tolak
pada permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa pelaksanaan
upaya paksa sebagai penyangga (baca: tulang belakang) agar putusan PTUN yang
telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan masih menjadi kelemahan
kontroversial dan fundamental bagi efektifnya penegakan hukum di bidang
administrasi/tata usaha negara.
Perubahan UU No.5 tahun 1986
Setelah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN diadakan perubahan dan penambahan
materi muatan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahannya yang
terbaru yaitu UU No. 51 Tahun 2009, khususnya mengenai dianutnya teori
kesalahandalam pasal 116 ayat (4), yang merupakan pengembangan
dari Yurisprudensi Counsil d’Etat, yang memberikan garis
ketegasan untuk membedakan antara kesalahan dinas (Faute de
serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle). Melalui
pengembangan yurisprudensi tersebut, sehingga kualifikasi bagi pejabat
TUN yang tidak patuh dalam melaksanakan putusan
PTUN, dinyatakan tidak sedang melaksanakan peran Negara yang
diberikan wewenang oleh jabatan, akan tetapi cenderung mengarah pada tindakan
yang bersifat pribadi. Dengan demikian pertanggung jawabannya
dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan.
Berdasarkan Yurisprudensi Counsil d’Etat itulah pasal 116
ayat (4) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 mendapatkan dasar argumentatifnya
untuk memberikan kewenangan bagi hakim mencantumkan pengenaan “uang
paksa” dalam putusan yang amarnya berisi materi yang sesuai dengan
maksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yakni dalam hal mencabut dan
menerbitkan KTUN atau menerbitkan KTUN yang memberi hak.
Meskipun
ketegasan putusan PTUN dengan mencantumkan pengenaan “uang paksa” dalam upaya
mengantisipasi maupun menindak pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan amar
putusan PTUN yang inkracht van gewijsde, akan tetapi
pengaturan mengenai tata cara pembayarannya belum diatur, untuk sementara
mengenai tata caranya secara analogi dianjurkan oleh Mahkamah Agung mengacu
pada ketentuan dalam PP No.43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan
Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Di balik
Ketegasan Pasal 116 ayat (4) UU No.51 Tahun 2009 ternyata masih terdapat
beberapa kelemahan, sehingga seolah-olah keberadaan pasal 116 ayat (4) UU No.51
Tahun 2009 hanya sebagai basa-basi para elit politik untuk memenuhi kriteria
negara hukum, karena disamping tidak menentukan tata cara pembayarannya secara
pasti, juga pengenaan uang paksa ini praktis hanya dimungkinkan berlaku pada
perkara yang menyangkut kepegawaian. Sehingga timbul permasalahan mengenai
bagaimanakah bila yang tergugat adalah kepala daerah. Apakah hubungan
pemerintah pusat maupun daerah jabatannya dapat dikategorikan layaknya
lingkungan kepegawaian agar dapat mengenakan sanksi administratif.
Komentar
Posting Komentar