HUKUM ISLAM DI PERNIKAHAN BAWAH TANGAN
Bab I
Pendahuluan
I.I
Latar Belakang
Adanya kontroversi tentang “Pernikahan Sirri” dan “pernikahan
bawah tangan” di kalangan umat baik umara maupun zu‟ama serta masyarakat
akhir-akhir ini tentang kriminalisasi bagi pelaku dan bagi yang terlibat dalam
pernikahan tersebut berkenaan akan diundangkannya (RUU) Peradilan Agama .ada
beberapa orang yang melakukan pernikahan seperti itu dengan berbagai alasan.
Padahal pernikahan seperti itu tidak dicatatkan di catatan sipil sehingga tidak
adannya akibat hukum. Pernikahan sirri dengan pernikahan di bawah tangan hampir
sama. Namun, banyak masyarakat yang menilai bahwa pernikahan di bawah tangan
dengan pernikahan sirri mengandung pengertian yang sama, padahal keduannya
mempunyai pengertian yang berbeda. Hal ini dikarenakan belum adanya kesamaan
presepsi dalam mengidentifikasikan dan mengklirkan apa yang dimaksud “nikah
sirri” dan “ nikah di bawah tangan”. Tetapi disini akan membahas pernikahan di
bawah tangan secara mendalam. Karena itu, sistematika pembahasan tulisan ini
adalah mencakup: latar belakang, perumusan masalah, tujuan, pembahasan,
kesimpulan dan saran.
I.2
Perumusan Masalah
1. Apa definisi dari pernikahan
bawah tangan?
2. apa yang menyebabkan seseorang
melakukan pernikahan bawah tangan?
3. Jelaskan peraturan pernikahan
dari seorang ahli!
4. Apa dampak yang ditimbulkan
pernikahan bawah tangan?
I.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang
dimaksud pernikahan bawah tangan.
2. Untuk mengetahui apa yang
menyebabkan seseorang melakukan
pernikahan bawah tangan.
3. Untuk mengetahui peraturan
pernikahan menurut ahli.
4. Untuk mengetahui dampak yang
ditimbulkan oleh pernikahan bawah tangan.
Bab II. Pembahasan
II.1
Definisi dari pernikahan bawah tangan
Definisi
pernikahan sebagaimana pasal 1UU pernikahan yang berbunyi “Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan dinyatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu sesuai dengan
pasal 2 (1) UU Perkawinan. Perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut
peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 2 (2) UU Perkawinan. Istilah
“nikah di bawah tangan” muncul setelah UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada
dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Dan nikah
menurut hukum adalah yang diatur dalam UU perkawinan. Dengan demikian,dapat
dirumuskan, bahwa nikah di bawah tangan, ialah nikah yang dilakukan tidak
menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah
liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan
hukum.
II.2
Penyebab seseorang melakukan pernikahan bawah tangan
Ada
beberapa alasan beberapa orang melakukan pernikahan di bawah tangan adalah
calon pengantin malas melengkapi berkas atau
persyaratan pernikahan.
bahwa kebanyak dari mereka yang
hendak melakukan poligami tidak mau mengurus surat persetujuan ijin poligami di
Pengadilan Agama, sehingga mereka lebih milih untuk menikah secara siri. Dan
juga ada alasan menikah di bawah tangan karena umur calon pengantin masih
sangat muda di bawah usia yang ditentukan oleh undang-undang.
3
II.3
Peraturan pernikahan menurut ahli
Pernikahan
bawah tangan adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Syekh Jaad
al-Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua
kategori :
1.
Peraturan
syara’,
yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan.Peraturan
ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari’at Islam seperti yang telah
dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai mazhab yang
pada intinya adalah, kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua
orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang
sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan telah terjadinnya ijab dan
kabul, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baliq, berakal lagi
beragama Islam di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri
secara langsung. Oleh ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap
sebagai unsur-unsur pembentuk bagi akad nikah.
2.
Peraturan
yang bersifat tawsiqy,
yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam
tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang
dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Kegunaanya agar sebuah lembaga
perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam
masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq,
tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’i nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala
syarat dan rukunnya seperti diatur dalam syari’at Islam.
II.4
Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan bawah tangan
Karena
adanya pernikahan di bawah tangan, dampak yang ditimbulkan biasanya dialami
oleh pihak wanita dan keturunan (anak) karena biasanya orang melakukan
pernikahan bawah tangan ada maksud tertentu. Misalnya untuk melakukan poligami
(beristri lebih dari satu), apalagi bila sampai adannya perceraian.
Hal
ini membuat salah satu pihak yang menderita karena harus memikul beban moral karena
tidak jelas statusnya. Demikian pula bagi anak hasil hubungan mereka itu akan
memikul beban mental selama hidup, karena tidak jelas statusnya sebagaimana
layaknya seorang anak yang sah, dan dengan tidak jelasnya status itu akan
berakibat tidak jelas pula siapa pihak yang bertanggung jawab bagi masa
depannya.
Bab III. Penutup
III.1 Kesimpulan
Banyaknya
masalah pernikahan bawah tangan membuat betapa pentingnya sosialisasi Hukum
Islam ke dalam masyarakat yang bukan saja bentuk rumusan hukum normatifnya,
tetapi juga tentang aspek tujuan hukum yang dalam kajian Hukum Islam yang
dikenal dengan maqasid asy-syari’ah. Makna
dari kaidah fiqh tersebut adalah, bahwa seseorang tidak dibenarkan jika hanya
mau menikmati sesuatu, tanpa mau menanggung risiko yang mungkin ditimbulkan
oleh tindakan menikmati sesuatu itu.
III.2
Saran
Hukum
Islam yang berbicara tentang peraturan yang mengharuskan pencacatan nikah pada
badan yang berwajib, kemudian di hubungkan dengan ayat-ayat yang membolehkan
untuk bermohon mengisbatkan akad nikah yang tidak memenuhi persyaratan
pencacatan tersebut, adanya peluang bermohon untuk mengisbatkan nikah itu tidak
lain adalah dengan permintaan agar penerapan satu peraturan tidak kaku.
Daftar
Pustaka
Effendi,
Satria. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Prenada
Media
Komentar
Posting Komentar